Posted by Theofilia Jasmine September 10, 2023

 Clé: Sandiwara



- ☆     -


Ia terbangun dari tidurnya. Nafasnya tersengal-sengal. Ia segera mengambil gelas air yang ada di meja belajarnya dan segera meneguknya sampai habis. Jam dinding masih menunjukkan pukul 3 dini hari. Ia pun duduk diam di atas ranjangnya, masih berusaha mencerna mimpinya barusan. "Ai bah, kenapa mimpi kayak gitu muncul terus sih." Ia mengusak rambutnya frustasi. 

"Psst". 

Pergerakannya terhenti. Ia melirik ke sekeliling kamarnya yang masih dalam keadaan gelap gulita. Hawa dingin mendadak menghampirinya. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya dan menyalakan lampu kamarnya. Matanya kembali melihat ke sekelilingnya dengan was was dan jantung yang berdegup kencang. Namun kosong, hanya ada dirinya disana. "Ayo tenangkan dirimu, nggak ada apa apa kok." Gumamnya sambil berusaha menenangkan dirinya sendiri. Sebenarnya ia sudah yakin bahwa itu adalah suara makhluk itu yang sering mengganggunya belakangan ini."Mending aku siap siap ke sekolah aja deh."

"Kamu boleh saja mengabaikanku sekarang. Tapi untuk nanti, kamu tidak akan bisa mengabaikanku Elang Samudra." Setelah suara itu kembali muncul, lampu kamarnya kembali padam dengan sendirinya.  


Elang melangkahkan kakinya dengan lemas menuju kelasnya. Begitu ia masuk ke kelasnya, ia melihat ke sekeliling kelasnya terlebih dahulu. Hanya ada 2 anak yang tidak terlalu ia kenal sedang belajar bersama. Kedua siswa itu hanya melihatnya sekilas dengan tatapan datar lalu langsung mengabaikannya. Tidak apa-apa, Ia sudah terbiasa diperlakukan seperti itu. Kakinya pun langsung membawanya ke tempat duduk yang biasa Ia tempati, di pojok kanan belakang. Ia menaruh tasnya dan mengeluarkan buku pelajaran yang akan diujikan hari ini. Tidak lama kemudian, seorang siswa berambut hitam-kecoklatan masuk ke dalam kelasnya. "Heiii Elang. Selamat pagiii" siswa tersebut menyapa Elang dengan senyum cerah terpancar di wajahnya. "Pagi lix." Balas Elang tanpa semangat. Nama siswa yang menyapanya tersebut adalah Nathaniel Felix, atau yang biasa di panggil Felix. Ia adalah sahabat baik Elang. Sementara semua orang di sekolah menjauhinya, hanya Felix lah yang mau memahaminya dan setia menemaninya. Felix bergerak menuju tempat duduk di depan Elang. Mereka pun melakukan hal yang sama seperti kedua siswa yang sudah berada di kelas tadi. 


Selang beberapa menit kemudian, dua orang siswa dari kelas lain datang dengan mengintip intip kan kepalanya ke kelas Elang. Felix yang melihatnya pun bingung dan menaruh sedikit kecurigaan kepada mereka berdua. "Kalian berdua ngapain disitu?" tanya Felix dengan raut kebingungan. "Eee.. kita mau nyari temen kita, tapi kayaknya belum dateng." Jawab salah satu dari kedua siswa tersebut yang memiliki tahi lalat di bawah matanya. "Yakin? Kalian bukan pembully yang lagi nyari temen gue kan?" tanya Felix lagi dengan raut wajah yang mulai kesal dan bersiap untuk memarahi mereka. "Engga kok, coba liat aja muka kita, bukan muka pembully kan?" jawab salah satunya dengan senyum yang manis agar tidak dicurigai. Felix pun menelisik wajah mereka berdua dengan seksama lalu berkata "Nggak salah sih. Tapi gue kurang yakin sama temen lo yang di belakang lo itu." Ujar Felix dengan mata yang mengarah ke siswa berwajah datar. "Apa?" yang merasa ditatap itu pun menjawab dengan datar. "Dia cuman lagi ngantuk aja itu mah. Btw kenalan yuk." Mereka berdua pun menghampiri Felix dan Elang. "Alvaro Kalandra, dipanggil Alan, 11 IPA 7. Dan ini temen gue, Ancilio Adhitama Mahardika, dipanggil Lio, juga 11 IPA 7. Lo?" Ucap Alan sambil menjulurkan tangannya. "Nathaniel Felix, 11 IPS 2" Felix membalas jabatan Alan dan dilanjut menjabat tangan Lio. "Terus temen yang lo maksud tadi siapa sih?" Tanya Alan penasaran. "Oh iya, sorry ya tadi gue nuduh kalian. Soalnya banyak murid yang dateng buat ngebully temen gue dengan alasan nyari temennya. Banyak yang mau ngebully temen gue gara gara sikapnya yang aneh, padahal mereka aja  gatau apa apa. Temen gue itu orang yang lagi duduk di pojok belakang sana, Elang Samudra, orang yang buat lo penasaran dan pengen tahu kenapa dia ketakutan dan gelisah setiap hari." 


Diam-diam ada yang memperhatikan seluruh obrolan Alan, Lio, dan Felix dari luar kelas. Laki laki itu sedang berjalan menuju kelasnya namun terhenti saat melihat ada dua siswa sedang berdiri di depan kelas Elang dan sedang berbisik-bisik membicarakan Elang. Laki-laki itu ialah Ian Najendra, atau yang biasa dipanggil Ian. "Heh, dasar orang-orang bermuka dua. Emang ketebak banget kalau mereka dateng buat ngejek mantan temen gue itu. Semoga Felix bisa lindungi dan selalu ada buat Elang." Ujarnya sambil terkekeh lalu melanjutkan berjalan menuju kelasnya.


Lagi-lagi Elang harus menerima tawa dan hinaan dari teman sekelasnya. Penyebabnya adalah dirinya yang tiba-tiba berteriak di tengah jam kosong. Tentu bukan tanpa alasan dia berteriak seperti itu, tapi karena ada kepala yang menyembul keluar dari meja dan terbang ke sekeliling kelasnya. Hanya kepalanya saja, itupun sudah mengerikan karena kondisinya yang tidak wajar. Kepalanya rusak dan menunjukkan otaknya, bola matanya hanya ada satu, dan bibirnya sobek hingga ke pipi, dan semua itu dipenuhi darah dan bau busuk yang menyengat. Namun hanya Elang yang bisa melihatnya.

"Lo kalo gila gak usah sekolah. Jelek-jelekin nama baik sekolah aja." "Jangan-jangan orang tuanya juga gila kali." "Mungkin, saking gilanya sampe anaknya ikutan gila. Musnah aja lo kaya kedua orang tua lo itu." Begitulah ucapan-ucapan kejam dari para pembully yang bukan lain merupakan teman sekelasnya sendiri. Tapi dia bisa apa. Dia cuma anak miskin yang sudah biasa menjadi korban bully. Dia melawan, dia bisa langsung dikeluarkan dari sekolah. Namun tidak lama setelah itu Felix datang dan berseru. "Kalian ngapain hah?! Kalian mau gue laporin ke kepala sekolah?!" Ujar Felix dengan penuh kekesalan.  "Yahh, pawangnya dateng tuh. Bubar aja yuk. Bubar, bubar" kata salah seorang murid disana. Satu persatu dari murid pun mulai membubarkan diri dan kembali ke tempat duduknya masing-masing. 


Melihat Elang yang masih setia menundukkan kepalanya, Felix segera menghampiri temannya itu. "Lang, lo gak apa-apa kan? Astaga, lepasin kepalan tangan lo, tangan lo berdarah!" Seru Felix panik. Jisung mendongak dan menatap Felix dengan senyum pedih. "Ngga papa kok Lix. Ini kan yang mereka mau,mereka mau gue hancur, gue emang gak pantes hidup." Ucap Elang dengan tatapan sendu. "Heh, jangan sembarangan!" Bentak Felix. Sementara Elang hanya diam merasakan rasa sakit yang menjalar di telapak tangannya yang terluka. Tapi itu semua tidak sebanding dengan sakit di hatinya.

Semua berubah. Elang yang ceria, Elang yang memiliki banyak teman, dan Elang yang suka melawak itu sudah sirna dari dunia. Kini, hanya ada Elang yang lemah, Elang si korban bully, dan Elang si gila.Tidak ada lagi kata bahagia, semenjak setan-setan itu datang dan mengganggu hidupnya. Bahkan hampir mencelakakannya. Entah siapa yang mengirim mereka.

"Eh, lo tau gak, masa gue liat si gila itu lagi teriak- teriak di toilet." "Yang bener?" "Iya, dia ketakutan gitu. Tapi males banget gue tolong, yaudah gue pergi." Alan yang tak sengaja mendengar percakapan dari seorang siswa laki-laki di belakangnya mengernyit. Tanpa babibu lagi dia langsung lari ke toilet untuk memastikan apakah yang diomongin siswa tersebut benar atau tidak. Ternyata benar, saat dia tiba di toilet, dia menemukan Jisung sedang meringkuk di sudut tembok dekat wastafel dengan tatapan kosong. Namun mulutnya terus meracaukan hal yang dia tidak dia mengerti. "Jangan ambil, jangan ambil, jangan ambil." Ian menjadi benar-benar bingung dibuatnya. "Lang, lo gak apa-apa, kan?" Tanyanya khawatir. Elang mendongak, menatap Alan yang berjalan menghampirinya. Tapi, perilaku Elang selanjutnya membuat Alan terkejut.

"Gak gak gak! Jauh-jauh lo dari gue!" Teriaknya histeris. Alan pun refleks mundur ke belakang karena Jisung terus berteriak padanya. "Lanh, gue gak kayak mereka. Gue mau nolong lo." Namun elang justru semakin mengusirnya. "Pergi! Tolong pergi!"

"El-" Saat Alan hendak membantu Elang, tiba-tiba ada yang memanggilnya. "Alan!"

Alan pun menoleh ke pintu toilet karena kaget akan kedatangan seseorang yang datang dengan nafas terengah-engah.


"Aduh Lan, lo bisa-bisanya malah ada di toilet. Eh kok ada si gila itu disini? Lo gak diapa-apain kan sama dia, Lan?" Tanya Jeremia Achazia, atau yang biasa dipanggil Remi, sambil masih berusaha mengatur nafasnya. "G-gue gak apa-apa kok," jawab Alan. "Sekarang lo bantu gue nenangin Elang, gue gak mau dia dijadiin bahan candaan sama orang-orang lagi." Ujar Alan kembali berusaha membanru Elang.  "Ck ngapain kita bantu dia? Biarin aja lah, gak penting juga. Mending sekarang kita cepetan ke ruang osis, lo dicariin ketos tuh." Jawab Remi langsung bergegas keluar kamar mandi. Namun Alan tidak mendengarkan Remi, ia akan tetap membantu Elang. Elang harus mendapat perlakuan yang layak seperti yang lain. Namun, belum sempat Alan membantu Elang, Remi lebih dulu menarik tangannya untuk pergi dan meninggalkan Alan seorang diri. Elang yang melihat itu tersenyum miris. "Di dunia ini emang gak ada yang baik, sekalipun dia orang baik. Mending gue mati daripada harus nahan sakit hati lagi." Ia pun bangkit. Dengan terseok-seok dia menuju jejeran alat pembersih toilet. Sampai akhirnya, dia tertarik dengan sebuah botol berwarna hijau dengan cairan bening di dalamnya."Cairan pembersih lantai? Boleh juga."


Ian mengemut lolipopnya sembari berjalan menuju toilet. "Akhirnya sampe juga. Udah satu jam gue jalan kesini tapi gak nyampe-nyampe," ucapnya senang ketika berada di depan pintu toilet. Ya gimana mau sampai kalau dari tadi dia malah keliling sekolah untuk mengatasi rasa bosannya. Karena wajahnya sudah panas, dia memutuskan masuk untuk mencuci muka. Tapi apa yang dia lihat. Dia melihat Elang memegang botol pembersih lantai dan seperti ingin meminumnya. "Woi, lo gila?!" Seru Ian seraya merebut botol tersebut. Elang sempat terkejut, namun sesaat kemudian dia hanya tersenyum. "Gue emang gila, jadi lo gak usah halangin gue," ucapnya lalu hendak merebut kembali botolnya. "Aduh, lo kalo haus minumnya air putih aja napa. Apa perlu gue beliin teh di kantin? Ya udah ayo." Tawar Ian. "Balikin itu sekarang!" Seru Elang kesal karena rencana bunuh dirinya digagalkan oleh Ian. "Heh, lo ngapain coba mau bunuh diri. Lagipula, nanti kalo gue yang kena tuduh karena ada disini gimana? Mana mau gue dipenjara gara-gara salah kira." Ucap Ian ikut kesal. "Ya udah, lo pergi aja!" Usir Elang."Gak, gue mau mastiin lo jadi bunuh diri atau enggak," tolak Ian.


Elang menggeram karena kekeraskepalaan Ian yang membuatnya gagal melakukan aksi bunuh diri. Tapi, melihat satu botol pembersih lantai di dekat wastafel, dia langsung mengambilnya dan membuka tutupnya. Ian yang kaget langsung melempar botol yang dia pegang dan merebut botol pembersih lantai yang dipegang Elang.


"Lo kenapa jadi begini, sih?! Mana Elang yang gue kenal!" Bentak Ian yang lama-lama terpancing emosi. "Elang yang lo kenal udah mati, Yan," balas Elang dengan santai. "Aduh, lo kalo punya masalah tuh cerita, jangan disimpen sendiri! Liat kan apa akibatnya, lo jadi kayak gini!" Ian berusaha menasehati Elang. "Halah lo tuh gak tau apa-apa gak usah banyak omong!" Bentak Elang semakin kesal. "Gue tau lo diganggu sama setan-setan itu." Elang membulatkan matanya kaget. Darimana Ian mengetahui hal itu? Padahal kan hanya Felix yang tahu masalah ini. Ian yang melihat reaksi Elang pun lanjut berbicara. "Gue juga diganggu, Lang. Sejak gue ketemu kepala terbang itu kemaren, gue diganggu sampe sekarang," jelasnya. "Pulang sekolah gue ke rumah lo, gue jelasin semua disana. Sekarang, lo harus ke uks. Kebetulan hari ini jadwal gue." Elang membeku, membiarkan Ian merangkulnya dan membawanya ke uks. Namun, saat mereka pergi ada yang melihat dengan tatapan tak suka. "Ngapain coba orang kayak dia ditolong." 


Hal tak terduga terjadi. Saat Elang dan Ian sedang menuju uks, ada beberapa siswa yang ingin mengerjai Elang dengan menumpahkan cairan dilantai saat Elang berjalan. Namun mereka tidak menyadari ada Ian di sebelahnya dan justru Ian lah yang menginjak cairan tersebut dan terpeleset hingga terjatuh ke belakang dengan kepala membentur ke lantai. Alan dan Lio yang tidak sengaja lewat pun bergegas menghampiri keduanya. Alan pun segera mengecek kondisi tubuh keduanya sementara Lio segera memanggilkan ambulan untuk Ian. Elang begitu panik dan takut hingga ingin menangis. Lantasan hal ini mengingatkannya pada kejadian di masa lalu yang membuat Elang menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian ini, meski semua orang pun tau ini adalah kesalahan para siswa yang hendak mengerjainya. "Ian, maafin gue Ian. Ini salah gue Ian. Harusnya lo ga perlu nolongin gue." Elang bergumam menyalahkan dirinya sendiri. Ian sudah pingsan dan tidak sadarkan diri jadi tidak bisa mendengar itu semua. Lio yang melihatnya segera berusaha menenangkan Elang. Ia menatapnya dengan tatapan datar namun tersirat rasa iba dalam taapan itu. Sementara itu Alan.. Tunggu, dimana Alan? Rupanya Alan sedikit menjauh dari mereka. Ia hanya berdiri dan memandang. "Ck. Alay banget sih" batinnya. Ia pun berbalik badan dan kembali berjalan ke tujuan awalnya yaitu kantin. Namun langkahnya terpaksa berhenti saat ia mendengar bisikan seseorang. "Alan, kamu tidak akan bisa lari dari saya." Alan sedikit terkejut. Ia menoleh ke kanan dan kirinya. Setelah itu, ia mengedikkan bahu tak peduli dan lanjut berjalan. "Sekarang kamu boleh mengabaikan saya. Tapi nanti, kamu tidak bisa mengabaikan saya, Alvaro Kalandra." Alan mematung. Ia melirik ke arah kirinya takut- takut. Kepala tak berbadan melayang di sampingnya sambil menyeringai hingga memperlihatkan gigi-gigi tajamnya. "Sstt, jangan teriak," bisik kepala tak berbadan itu, tepat di telinga kirinya.


Disinilah mereka sekarang. Rumah sakit yang merawat Ian. Elang, Felix, Lio, dan Alan ada disitu untuk menjenguknya. "Makasih ya Lang, Lio, Lan, udah bawa gue kesini. Dan Lang, ini bukan salah lo. Gue tau lo pasti lagi nyalahin diri lo sekarang. Tapi ini memang salah anak-anak it-" Ucapan Alan terpotong ketika tiba-tiba ada seorang lelaki yang masuk ke dalam ruangannya. "KAK IAN!" Seru anak tersebut. "Loh? Dek? Ngapain kamu disini?" Jawab Ian saat melihat ada Naka Juna atau yang bisa dipanggil Ajun, yang merupakan adiknya itu tiba-tiba datang dan berteriak. "Kakak nggak apa apa kan?" Tanyanya namun sambil celingak-celinguk seperti mencari seseorang. "LO! Ini semua gara-gara lo! Bukannya mama gue udah bilang jangan deket-deket sama kakak gue lagi?! Lo liat kan akibatnya!" Ajun berseru-seru tidak terima sambil menunjuk-nunjuk Elang. "Ajun! Udah!" Ajun hendak menyerang Elang namun untungnya ditahan oleh Lio dan Felix. Suasana menjadi rusuh namun kembali tenang saat suster datang ke ruangannya dan menyuruh mereka semua untuk tidak berada di ruangan Ian untuk sementara. Namun ada sesuatu yang aneh disini.. Siapa yang menduga? Ternyata seseorang diam-diam menyeringai menunjukkan kepuasan saat melihat pertengkaran tadi, terutama saat dimana Ajun menyalahkan Elang. 



Hati Elang seperti tersayat pisau ketika mendengar perkataan Ajun, adik dari mantan temannya itu. Kimi ia sedang berjalan bersama Lio. Mau cari angin katanya. Sementara Felix tadi pamit duluan karena dipanggil oleh mamanya untuk pulang.  "Lang, kaki lo masih sakit?" Tanya Lio pelan khawatir. Kaki Elang sempat terkilir saat hendak membantu membawa Ian masuk ke dalam ambulan. Elang mengangguk samar lalu menjawab. "Rasanya sakit, tapi gak pernah sesakit ini," ucapnya lirih sambil memukul pelan dadanya. "Maaf ya, Lang. Gue gak bisa bantu apa-apa." Lio menunjukkan senyumnya yang jarang sekali dilihat oleh orang-orang. "Lo yang sabar ya, saat ini mungkin lo merasa sulit sama keadaan lo. Tapi lo harus yakin, suatu saat nanti kebahagiaan akan datang dalam hidup lo. Gue yakin," ucapnya. Elang tersenyum tipis membalasnya. "Makasih, Li." Lio mengangguk. "Sama-sama. Oh ya, lo bisa ceritain kenapa lo sama Ian bisa jadi mantan temen?" Tanyanya hati-hati, takut Elang tersinggung. Elang yang sedang berjalan itu menghentikan langkahnya sebentar, kaget dengan pertanyaan Lio. "Kalo lo gak mau cerita, gak apa-apa, kok." Elang dengan cepat menggeleng dan lanjut melangkah. "Gue bakal cerita semuanya ke lo."


Elang mengambil nafas dalam-dalam sejenak, lalu mulai bercerita. "Dulu, gue sama Ian deket banget, kita sampe disangka kakak adik sama orang-orang. Ian selalu baik sama gue, dia bener-bener memperlakukan gue kayak adiknya sendiri. Gue yang ditinggal pergi sama kedua orang tua gue merasa bahagia. Tapi pas gue umur 14 tahun, Ian kecelakaan. Orang tuanya nyalahin gue, mereka bilang gue anak pembawa sial. Mereka ngira kalo setan-setan di tempat dia kecelakaan gak suka sama gue yang anak indigo dan malah Ian yang jadi korban. Mereka pun ngelarang Ian buat temenan sama gue. Semenjak itu, gue memilih untuk gak ketemu Ian lagi. Hati gue sakit untuk yang kesekian kalinya. Dari situ kita saling menganggap kalo kita mantan teman. Padahal gue masih mau temenan sama dia. Tapi, gak lama setelah kejadian itu, Felix yang merupakan sahabat baik gue sejak kecil balik dari Australia. Dia bilang, dia bakal selalu ada buat gue. Orang tuanya juga menganggap gue sebagai anaknya, bahkan mereka mau mengadopsi gue yang tinggal sebatang kara di kehidupan gue yang kayak gini. Lio mengusap-usap punggung Elang ketika melihat mata temannya itu mulai berkaca-kaca. "Lang, kalo lo butuh sandaran, gue siap siaga kok. Gue gak mau lo terus-terusan kayak begini."


Tapi nasib tetaplah nasib. Tidak lama kemudian ada bisikan yang menghampiri mereka berdua. "Hehe, kalian kira hidup akan semudah itu?" Kepala terbang itu kembali muncul. Bahkan Ia membawa temannya sekarang. Hantu perempuan dengan rambut panjang, dan wajah yang rusak. Kedua hantu itu mengejar mereka. Mereka lari sekuat tenaga menuju taman yang ada di belakang rumah sakit tersebut. Namun sepertinya ini bukan hari keberuntungan Lio. Bisa- bisanya ia tersandung oleh tali sepatunya sendiri hingga terjatuh. Hantu-hantu itu tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka segera memakan tubuh Lio hidup-hidup dan pergi menghilang begitu saja, meninggalkan Elang yang mematung. Dan hal itu pun bertepatan dengan kedatangan Alan yang langsung terkejut dengan pemandangan yang ada di depannya. Ia menatap Elang dengan tatapan kesal dan penuh tanda tanya. Elang pun menyadari tatapan Alan yang seakan ingin menyalahkan dirinya atas kejadian ini. “Al-alan. Lio.. Lio dibunuh sama hantu itu, Lan! Hantu yang selalu gangguin gue tiap hari.” Seru Elang dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Meskipun tatapannya begitu datar, Lio adalah anak yang sangat baik. Baru saja Elang mulai berteman dengan Lio. Namun apa yang terjadi? Justru setan-setan itu merenggut  nyawanya.  Kenapa? Kenapa harus Lio? Kenapa nggak gue aja yang mati? Lio nggak pantes buat mati.  batin Elang dengan perasaan bersalah yang dalam. “Hantu? Mana bisa hantu bunuh manusia? Pembelaan lo jelek, Lang. Gue nggak percaya lo setega ini. Ian harus tau ini” Jawab Alan yang tidak percaya sama sekali dengan ucapan Elang dan segera beranjak pergi hendak memberitahukan peristiwa ini kepada Ian. Elang segera mengejar Alan sambil berseru-seru bahwa bukan Ia yang membunuh Lio, namun para setan itu. 


Sesampainya di depan kamar Ian, Alan membuka pintunya dengan sedikit kasar. Elang ada disampingnya sambil terengah-engah. Namun betapa terkejutnya mereka berdua melihat pemandangan yang ada di depan mereka. Elang hingga membulatkan matanya begitu melihat mayat Ian yang tergeletak di atas ranjangnya. Kondisinya begitu mengerikan hingga membuat tubuh Elang bergetar. Siapapun yang melihatnya juga akan merasa mual melihat mayat Ian dengan mata yang terbuka namun tanpa bola mata di dalamnya, serta organ-organnya yang berceceran dimana-mana. Elang yang masih dalam keadaan sedih karena kehilangan teman barunya itu dibuat merasakan kesedihan yang lebih dalam dan bertubi-tubi lagi saat mengetahui bahwa sahabat lamanya atau mantan temannya itu juga telah meninggal. Hatinya sangat sakit seperti ditumbuk berkali-kali, disayat berkali-kali pula. Ia segera menangis sejadi-jadinya sambil menghampiri ranjang almarhum Ian. Ia berjongkok sambil terus menangis atas semua yang telah terjadi hari ini. 


Namun tiba-tiba suara dering telepon terdengar. Suara itu berasal dari handphone Elang. "Lang! Dimana lo sekarang!" Terdengar suara orang berseru keras. "G-gue masih di rumah sakit, Lix." Jawab Elang berusaha setenang mungkin. "Bapak gue udah ngga ada, Lang! Ini semua salah lo! Gue sempet liat dan dengar bisikan dari setan-setan yang selama ini gangguin lo! Ck, emang salah gue deket-deket sama lo. Pantes aja Ajun marah-marah tadi, emang bener lo pembawa sial." Ujar Felix dengan penuh kekesalan. Elang yang mendengar perkataan teman baik itu semakin merasa sedih dan terkejut di saat yang sama. Apa yang baru saja dia dengar? Felix, sahabat baiknya, yang selalu mengerti keadaannya, sekarang memarahinya dan menuduhnya serta mengatasinya anak pembawa sial. "M-maksud lo, Lix? Nggak, nggak mungkin. Dan tadi lo bilang apa.. Lo barusan nyalahin gue dan ngatain gue? Bukannya lo ngerti keadaan gue? Sahabat macam apa lo, Lix?" Ucap Elang dengan suara serak. "Iya emang gue bilang gitu. Kenapa? Budek lo?" "Heh, sahabat? Sejak kapan lo jadi sahabat gue? Lo terlalu polos dan mudah ditipu Elang Samudra. Lo pikir gue mau temenan sama orang gila dan pembawa sial kaya lo? Gue deketin lo cuman manfaatin kepintaran lo, Lang. Dan tanpa sadar lo 11 12 sama babu gue meski lo ga bakal menyadari itu. Udah! Sekarang jangan bahas itu! Ini tetap salah lo, Lang! Bapak gue ga ada semua gara-gar-" Telepon diputuskan sepihak oleh Elang. Elang tidak kuat lagi mendengarnya. Ia tidak menyangka Nathaniel Felix, yang sudah Ia anggap saudara itu, ternyata adalah orang yang munafik. Elang mengangkat kepalanya untuk melihat Alan yang masih berdiri di depan pintu. "L-lan. Sekarang gue harus apa Lan? Apa bener semua ini salah gue? Kenapa Lan? Kenapa gue harus mengalami ini semua?" Ucap Elang dengan terisak-isak. "Hm? Kenapa ya? Coba lo tanya sendiri deh sama mereka." Jawab Alan santai. "Lin," panggil Alan. Tiba tiba salah satu setan yang selama ini mengganggu Elang muncul. "Ya Tuan."


"T-tuan?" Elang berucap pelan namun masih bisa didengar oleh Alan. "Jadi selama ini lo yang jadi tuan mereka? Jadi lo yang ngirim mereka buat ganggu gue dan bahkan membunuh teman lo sendiri?" Elang terkejut setengah mati. "Yap, bahkan temen lo yang disana itu pun juga gue yang bunuh. Pas lo sama Lio jalan bareng ya gue gunain lah kesempatan itu buat bunuh temen lo." Jawab Alan lagi-lagi dengan santainya. "Tapi kenapa Lan? Kenapa?! Gue salah apa sama lo?!" Seru Elang tidak terima. "Banyak Lang! Lo bikin gue dan adik gue iri sama lo! Lo punya kehidupan yang bahagia banget, lo pinter, lo punya banyak teman, lo disukai banyak orang. Sedangkan gue? Kurang kasih sayang orang tua, gak cepat menangkap pelajaran, gue pun cuman punya adik gue. Gue ga punya temen dari dulu. Gue dan adik gue ga erima semua itu. Jadi, mending gue bunuh aja lo sekalian temen-temen lo karena kebetulan setan-setan ini suka anak yang indigo. Seperti lo dan kedua teman lo itu." Jelas Alan panjang lebar sama dengan luas. "Nah, teman-teman lo kan udah. Kebetulan setan-setan ini masih laper nih. Berarti sekarang giliran lo dong." Ucap Alan dengan seringaian tampak di wajahnya. "Lan! Bukan gini caranya, Lan! Kalo lo mau punya temen, gue juga bisa jadi teman lo!" Seru Elang sambil mundur menghindari Alan yang mulai mengeluarkan pisau. "Bacot! Gue ga butuh temen kaya lo! Pergi aja temui teman-teman lo diatas sana!" Belum sempat Alan menusukkan pissu itu, pandangan Elang kabur seketika dan makin lama makin menghitam. 



Dan semua itu, sama persis seperti mimpinya.


"HAH!" Elang terbangun dari tidurnya. Nafasnya tersengal-sengal. Ia segera mengambil gelas air yang ada di meja belajarnya dan segera meneguknya sampai habis. Jam dinding masih menunjukkan pukul 3 dini hari. Tunggu sebentar. "Loh, bukannya gue mati?!" Pekik Elang kaget sendiri. Elang meraba-raba badannya. Puji Tuhan tidak ada luka. "Jadi yang tadi mimpi, gitu? Astaga, mimpi macam apa itu!" Kesal Elang sembari beranjak bangun dari ranjangnya. Saat kakinya menapak di lantai, hawa di sana mendadak berubah drastis. Dia merasakan semilir angin berhembus ke tengkuk lehernya. Elang bergidik dan segera mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. Dia harus segera ke sekolah, jangan sampai setan itu tertawa seperti yang ada di mimpinya.


Elang menghela nafas, kelasnya masih sepi. Jadi yang dia lakukan hanya menatap langit gelap dengan gelisah.Firasatnya buruk.

"Kalian berdua ngapain disitu?" Elang menoleh dengan kaget. Dari ambang pintu, terlihat dua laki-laki sedang mengintip ke dalam dan ditegur oleh sahabatnya, Nathaniel Felix. "Eee.. kita mau nyari temen kita, tapi kayaknya belum datang." ucap salah satunya dengan tahi lalat di bawah matanya. Elang seketika berdiri dari duduknya, membuat kursinya berdecit dan menyebabkan ketiga orang di sana menoleh ke arahnya.


Ucapan, perilaku, dan waktu sama persis dengan mimpinya!


  • The End    -

0 Comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Best

Blog Archive

About

Helloo!!!

Testimonials

Games

Games
8 Ball Pool

Insta

Ads block

Banner 728x90px

Search This Blog

Contact us-desc:Feel free to contact us at anytime about our courses and tutorials.

Name

Email *

Message *

Search

Verification

Time

Powered by DaysPedia.com
Current Time in Malang
312pm
Sat, November 25

Blog Archive

About

CBOX

Flag Counter

Flag Counter

Total Pageviews